Archive for September 2014
Saat Getar Cinta Menyapa Jews
Fragmen 1
Ikhwan–akhwat aktivis dakwah, demikian orang lebih sering menyebutnya. Keduanya tampak terlihat sibuk. Mereka berdua menghabiskan hampir setiap waktu mereka di luar rumah. Di ruang kuliah, di masjid kampus, di rumah kontrakan yang jadi markas dakwah dan bahkan di arak-arakan jalanan saat mereka demontrasi. Sepenggal fase hidup mereka dipenuhi dengan Jadwal syuro, kajian, bakti sosial, outbond hingga aksi turun ke jalan. Selayaknya anak manusia seumur mereka, lumrah apabila ada “getar-getar” di antara mereka. Getaran tersebut tercermin dari perbincangan keduanya seperti ini :
[di Telepon]
Ikhwan : Assalamuaikum... apa kabar ukhtie…??
Akhwat : Wa’alaikum salam Akhi... Alhamdulillah, saya baik
Ikhwan : sedang sibuk..?? boleh minta waktunya..?? ana ingin “konsultasi nih”…..??
Akhwat : Ndak sibuk kok
Ikhwan : @@E$%^&^&*(((@))####..........ABCDEFG……..ZZZZZ
Akhwat : $%$]##$@@@&@*………….*dengan wajah semu merah diujung telepon )
[lain waktu lagi di INBOX chatting di dunia maya]
Akhwat : Met MILAD ya akhie... Barokallohu fi umrik
Ikhwan : Jazakillah ukhtie…..
Akhwat : oh ya... ini saya attach’kan nasyid special sbg hadiah...
Ikhwan : Jazakillah Ukhtie… akan saya ingat selalu…
[ Semua masih berlanjut seiring waktu lewat telepon, pesan singkat dan dunia maya... hingga suatu ketika...]
Akhwat : Apa tidak sebaiknya kita melabuhkan rasa di antara kita dalam pernikahan..?
Ikhwan : Menikah…??? Afwan, sepertinya saya belum siap…
Akhwat : …………??????????
Fragmen 2
Jaka dan Gadis. Keduanya sudah saling mengenal. Keduanya sering bertemu . Keduanya tak jarang saling membantu. Tak ada “getar” apapun diantara mereka, setidaknya itu yang Gadis rasa. Hingga suatu masa sang Jaka membuka suara….
Jaka : kutulis sebuah puisi untukmu… bacalah…
Gadis : baiklah…
[Lagi…]
Jaka : Sebuah puisi lagi ku kurangkai dengan penuh cinta... bacalah…
Gadis : Oh ya... baiklah
[Berkali sudah terjadi… entah sudah berapa bilah puisi... meski tak menumbuhkan apapun di hati Gadis… tetap saja Gadis merasa ini gilirannya angkat bicara]
Gadis : puisi- puisi itu sudah cukup kiranya… hanya saja ku ingin bertanya, keberanian... sudahkah itu kau punya???
Jaka : Menikah…??? Tak layak kiranya aku menduakan cintaNya.. aku belum sanggup.
Gadis : …???
Fragmen 3
Popeye dan Olive. Tak pernah sekalipun bertemu, apalagi bercakap panjang yang tak perlu. Lewat sang kawan, Brutus lah keduanya mengenal dan berbagi tahu. Cukup saja sampai di situ tak lebih dari itu. Hingga suatu waktu…
Popeye : Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bismillahirrahmanirrahim... maukah engkau menunggu... bila urusanku selesai, ku ingin menemui walimu untuk meminangmu. Maaf bila ada kalimat yang tidak berkenan di hatimu. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Olive : ………………………..??????????
Untuk ketiga kisah di atas ingin saya kutipkan puisi dari salah satu penulis favorit saya
Harapan tanpa iman
Adalah kekecewaan yang menunggu waktu
Kebahagiaan tanpa barakah
Bagai bayang-bayang tanpa cahaya
Orang suci
Menjaga kesuciannya dengan pernikahan
Menjaga pernikahannya dengan kesucian
(Salim A. Fillah)
Cinta itu untuk semua. Tak peduli apakah ia sosok seorang aktivis dakwah, mahasiswa yang study oriented semata, pekerja lulusan SMA, atau bahkan –maaf- pengangguran tanpa pekerjaan. Kesemuanya punya hak dan lumrah sesuai fitrah jika dihinggapi oleh rasa cinta yang tulus suci. Anis Matta menyebut dalam kumpulan tulisannya Serial Cinta, cinta adalah perasaan yang luhur. Perasaan yang luhur tersebut adalah gejolak kemanusiaan yang direstui di sisi Allah. Sebab karena direstui oleh Allah itulah Rasulullah bersabda “Tidak ada yang lebih baik bagi mereka yang sudah saling jatuh cinta kecuali pernikahan”. Dan jalan itulah selayaknya yang terbaik yang harus dipilih saat seseorang disinggahi rasa yang menggetarkan hati itu. Bukan. Bukan yang lain.
Dalam bukunya Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim , Salim A. Fillah mengutip sebuah laporan tentang tren HTS –Hubungan Tanp